Monday, March 30, 2009

Ketika Rasa itu Pergi

ketika hari ini ku berdiri kaku
aliran darahku seakan-akan berhenti
denyut nadiku tidak berirama lagi
denyut jantungku hampir tidak berdenyut lagi
semua itu hanya karena dia.......

Dia telah pergi.......
entah kemana.....
pergi tanpa kabar
meninggalkan luka yang dalam.......
semua telah tiada.....
kehidupan ini berubah jadi hampa..

kenapa dia pergi.............
kenapa dia pergi.............
takutka engkau menghinggap dalam lubuk hatiku??????????
takutka engkau menjadi sahabat hatiku????????????

rasa itu???????
rasa itu telah tiada????
traumaka engkau terhadap kezaliman hati ini
tempat kau berlabuh.........

apakah ini balasan yang harus kuterima???????
atas kezaliman hati ini.......
biarlah engkau berlabuh disana
sementara hati ini berusaha
untuk menjadi sahabatmu kembali.............

ku akan menunggu rasa itu kembali
rasa yang akan menjadi sahabat hatiku
rasa yang melancarkan aliran darahku
rasa yang akan membuat denyut nadiku teratur lagi

ingat aku akan terus menunggu
sampai engkau kembali...............






apa yang kurasa..................

perasaan yang galau..........
meronta setiap waktu
tanpa tau apa penderitaan
tertawa sampai lewati batas kelucuan

aku ngak tau apa yang kurasa
atauka kita sama-sama ngak tau apa yang kita rasa........
mencari sana sini alasan......
sampai kita harus saling melukai.....

gila........
aku hanya bisa tertawa sendiri
sebenarnya apa yang kita rasa.........


ku coba menebak tapi takut salah tebak
karena engkau dengan seribu tafsiran kitab hatimu
tapi pernahka terpikirkan, berapa lama waktu
telah memisahkan kita
sampai kapankah kita berada dalam kesandiwaraan
sampai kapankah kita berada dalam kepura-puraan

tanpa awal dan,....
tanpa noktah akhir kisah.......

sebenarnya kau ini kenapa yach???????????????????????????????

surat untukmu

Kekasih, ini adalah suratku yang terakhir untukmu.
Angin telah mengabarkanku tentang dirimu yang berubah dan ruhmu tak lagi datang menyapa. Maka aku telah menarik pelajaran darinya. Adalah aura kita yang ingin kaupelihara, bukan cinta, karena kita memiliki definisi berbeda atasnya. Sementara aku, hanyalah orang yang bisa memandangi potret wajahmu yang tersisa di dalam hatiku, sambil membayangkan kisah asmara yang pernah kita rasakan bersama,
Diriku yang jahat, kerena diri ini egois,akan mendoakan agar engkau selalu bahagia, menapak bayang – bayang kehidupan yang ada di depanmu. Diriku yang lain akan menyerah kepada waktu dan embun dini hari. Biasa, mengadukan luka.
Luka biasanya akan memberiku puisi, tetapi aku sedang puasa, Sayang. Puisi membuatku ingat akan dirimu. Karena itu aku berpuasa. Puasa puisi. Tetapi engkau tak perlu peduli, karena ini tak ada hubungannya sama sekali dengan dirimu yang menjelma batu; kenyataan yang selalu memedihkan sudut mataku setiap kali kuteringat itu.
Aku akn masuk kembali ke bilikku yang sumpek dengan berbagai macam bau (sayangnya tak ada bau keringatmu). Di negeri bayang-bayang. Negeri khayal. Mungkin di situ akan kutemukan jiwamu yang tak lagi penuh keraguan
Ya, kekasih, aku akan menunggu jiwamu di situ. Mungkin takkan pernah bertemu di alam nyata, dan tidak dapat kumiliki dirimu di alam nyata. Mungkin akan kutemu jiwa yang lain, bayang-bayang yang lain, hantu-hantu yang lain. Tetapi satu hal sudah kupastikan. Akan kunyalakan terus telepon genggamku. Siapa tahu akan kuterima telepon dan sms-mu., Siapa tahu?


Catatanku: Kelak, jika Tuhan mengizinkan, dalam kesempatan yang diberikan-Nya, aku akan membuktikan bahwa apa yang telah kuputuskan saat ini bukanlah sebuah kekeliruan yang harus disesali atau dibenci seumur hidup, bukan pula sebagai sebuah kepalsuan dan arogansi kelaki-lakian…
Aku tidak menuntut apapun padamu, tidak perlu ada jawaban terhadap apa yang telah aku ungkapkan, pun tidaklah bijaksana untuk disikapi sedemikian rupa. Aku hanya ingin agar engkau dapat mengerti bahwa aku pernah mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu sepanjang masa, andai pun ku tak pernah sempat memilikimu seutuhnya
Aku berharap, engkau bisa memahami aku yang terkadang sulit untuk menyembunyikan harapan, atau sekadar berpura-pura, bahkan kepada siapa pun, termasuk kepadamu !
Ketika telah kunyatakan perasaan dan harapanku, sesungguhnya telah berkurang beban di dada, dan bahagia rasanya melingkupi diriku, meskipun tak pernah bermaksud untuk bermain-main dengan hal ini, aku akan selalu merasa siap menerima segala konsekuensinya, sepahit dan segetir apapun adanya….
Perasaan ini hadir bukan karena dia dipaksa atau terpaksa, tetapi dia hadir sebagai wujud kesadaran yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, sehingga karenanya, tidaklah dewasa jika harus membuatnya mati atau berhenti di tengah jalan. Bahkan dia harus kita jaga, agar tetap suci dan abadi, karena keberadaannya bukan untuk memiliki atau menguasai, tetapi lebih pada ikhtiar untuk saling melengkapi, saling mengerti, dan saling menghidupi…
Diriku jujur dan sadar sepenuhnya akan keputusan ini, sehingga tak harus engkau sangsikan lagi apa yang telah kusampaikan. Aku juga bisa menerima ketika engkau harus bersikap marah atau jengkel atas semuanya….Percayalah, ini adalah ketulusanku yang pernah keluar dari lubuk hati yang paling dalam…
“Akan selalu mencintai dan menyayangi dirimu sebagai bagian dari belahan jiwa yang terpisah dari ragaku, untuk menemukan kesejatian hidup ini, meskipun itu hanya dalam ketiadaan !”